Senin, 22 Agustus 2011

LAPORAN PENELITIAN DAN ANALISIS


 Analisis Pengembangan Kegiatan Anak Usia Dini
Pada  PAUD  Aisyiyah Bustanul Athfal  II Baron
(PAUD 4504)

                Disusun oleh                 :   SITI  AISIAH
                NIM                               :   815734083
                Waktu Pelaksanaan     :   Jum’at, 24 April 2009
                Tempat Penelitian        :   PAUD Aisyiyah Bustanul Athfal  II  Baron


          DEPARTEMEN  PENDIDIKAN  NASIONAL
PROGRAM S-1 PAUD                                                                                                    
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ – MALANG
NGANJUK, MEI 2009


OBSERVASI  KEGIATAN  PENGEMBANGAN
DI  TAMAN KANAK - KANAK
TK                               :  AISYIYAH  BUSTANUL  ATHFAL II  BARON
TANGGAL                 :  24 – April – 2009
No
Hal-hal Unik / menarik yang ditemukan Dalam
Ada
Keterangan / Uraian / Pertanyaan
Ya
Tidak
1
Model Pengembangan Kegiatan
v

Lembaga mengembangkan model kegiatan BCCT

2

Penataan ruangan
v

Di papan hasil karya banyak ditempeli  macam-macam hasil karya anak dengan ditulisi nama,- masing-masing anak yang mengerjakan

Ruangan  diatur duduk melingkar dibimbing guru
3
Kegiatan yang dilakukan anak
v

1.Anak melakukan kegiatan  melipat  dibimbing guru
2.Hasil lipatan anak ditempel di buku menempel
3.Guru menanyakan tentang lipatan anak
4.Anak bercerita hasil lipatan
5.Anak secara bergiliran menceritakan hasil lipatannya
Pertanyaan : Mengapa anak menceritakan hasil lipatannya bergantian tidak menceritakan secara bebas.
4
Alat Peraga Edukatif (APE) yang digunakan
v

Hasil karya li patan masing-masing anak
5
Pengaturan/Pengelompokan anak
v

Kelompok berdasarkan warna kesukaan, dibagi menjadi 3 kelompok, satu kelompok 6 anak, guru duduk diantara kelompok yang diatur melingkar
6
Cara Pendidik memimpin kegiatan
v

1.          1.Guru membimbing anak melakukan kegiatan melipat sesuai tema  binatang
2.Guru menyampaikan langkah-langkah melipat
3.Pendidik meminta masing-masing anak menceritakan hasil lipatan setelah ditempel di buku menempel dengan dipandu pertanyaan guru.
7
Peran Orang Tua Anak
v

4.             Ada dua  orang tua anak yang membantu pendidik di dalam kelas. Pertanyaan : Mengapa mereka membantu pendidik di dalam kelas? Apakah mereka melakukannya dengan sukarela atau ingin mendapatkan insentif? Apa peran orang tua tersebut di dalam kelas?


 Wawancara dengan Pendidik PAUD Aisyiyah Bustanul Athfal II Baron

1. Usia berapa saja anak-anak yang berada dalam PAUD yang ibu asuh? ..............................................................................................................
2.      Apa perbedaan/keistimewaan program di PAUD yang ibu asuh dibandingkan PAUD lain? ................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
3.      Bagaimana cara penyusunan rencana kegiatan untuk anak diPAUD yang ibu asuh? ...............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
4.      Referensi apa yang ibu pergunakan untuk menyusun rencana kegiatan anak? ..............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
5.      Apa saja yang ibu ambil manfaatkan dari referensi tersebut? .........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
6.      Tadi saya melihat kegiatan ..........................................................................., Mengapa ibu melakukan kegiatan tersebut? .................................................................................................................................................................................................................................
7.      Apa dasar pemikirannya sehingga ibu melakukan kegiatan seperti itu?          ................................................................................................................................................................................................................................................
8.      Bagaimana respon orang tua/wali, dengan kegiatan tersebut? ........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
9.      Upaya apa yang ibu lakukan apabila dalam menjalankan kegiatan ada hambatan-hambatan? .....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
10.  Apa rencana ke depan mengenai kegiatan-kegiatan anak di PAUD yang ibu bina?  ...................................................................................................................................................................................................................................

Belajar Membaca: Bisa Karena Biasa


Tulisan ini saya dedikasikan buat teman-teman yang bertanya tentang Cara Mengajar Anak Membaca. Semoga bermanfaat

Zaman dulu, anak 5 tahun bisa membaca adalah sesuatu yang langka. Orang tua juga jadi kecipratan bangga. Tapi saat ini, di mana dunia aksara sudah makin mewabah, akses terhadap bahan bacaan kian mudah, anak 3 tahun bisa membaca juga bukan lagi perkara langka. Persoalannya, bagaimana membuat anak-anak bisa membaca?

Berdasarkan pengalaman saya, cara mengajar anak membaca sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang baku, rumit, dan sangat terstruktur. Saya memang mengajar anak pertama dengan metode yang lumayan butuh pengorbanan, yaitu metode Glen Doman. Tiap malam sibuk bikin kartu baca. Tapi lucunya, untuk mengajari anak kedua, saya hanya pakai buku tulis biasa plus pensil/balpoin. Belajarnya hanya 5 menit sebelum tidur atau pas waktu senggang. Saya pun baru memulainya pada usia 4,5 tahun.

Satu hal yang tidak berbeda antara kedua anak saya adalah, mereka sama-sama sangat suka membaca. Luqman, anak kedua, meskipun ia belum lancar baca tapi bisa bertahan lebih dari 30 menit untuk dibacakan buku. Bukan kami yang memintanya, melainkan dia sendiri yang memohon. Kadang-kadang bukan hanya orang tuanya atau kakaknya yang membacakan buku, siapa saja yang datang ke rumah, neneknya ataupun tantenya bisa saja di 'todong' untuk membacakan dia buku. Kesimpulannya, anak-anak sangat akrab dengan buku.

Semalam, saat saya mencicil buku To Kill a Mockingbird, saya menemukan kisah yang menarik. Diceritakan bahwa salah seorang tokoh bernama Scout, saat ia memasuki kelas satu SD telah lancar membaca koran, padahal teman-temannya yang lain baru akan diajari alfabet dan mengeja. Kemampuannya itu membuat gurunya sedikit kesal. Sang guru menyuruh Scout berkata pada ayahnya agar tidak mengajarinya lagi di rumah.

Scout bingung. Ia pun berkata pada gurunya bahwa ayahnya tak pernah mengajarinya. Ayahnya terlalu sibuk. Jika pun ayahnya ada di rumah, ia malah sibuk membaca, sehingga tak sempat untuk mengajarinya membaca.

Mendengar penjelasan muridnya itu, sang guru tidak percaya dan bersikukuh agar Scout menyampaikan pesan pada ayahnya agar berhenti mengajarinya di rumah. Sang guru yakin bahwa tidaklah mungkin seorang anak bisa membaca tanpa diajari siapapun.

Rupanya, memang bukanlah belajar secara sengaja yang membuat Scout bisa membaca, melainkan karena ia selalu berada di dekat dan bahkan di pangkuan ayahnya saat sang ayah (yang seorang pengacara) membaca keras-keras koran, draft undang-undang, ataupun kitab hukum.

Minggu, 07 Agustus 2011

PAUD: Pendidikan anak usia dini; Calistung: Baca, Tulis dan Berhitung


PAUD dan Calistung2



Oleh MAYA A. PUJIATI

PEMBERITAAN “PR” tanggal 9 Maret 2007, halaman 25, memuat pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional, Dr. Ace Suryadi, dengan judul “Calistung pada PAUD Salah Besar!”. Menurut Dr. Ace, pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, ia pun mengatakan, jika keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung, hal itu sah-sah saja.

Di pihak lain, beberapa waktu lalu, di Surat Pembaca “PR” edisi Rabu, 20 Desember 2006, seorang bapak mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah satu SD, tempat anaknya sekolah. Ketika pendaftaran dilakukan dan anaknya dinyatakan lulus tes, pihak sekolah setuju untuk mengajar anak dari awal, dengan asumsi bahwa semua anak belum bisa membaca dan menulis. Namun, setelah waktu berlalu beberapa bulan ternyata si anak terus mengalami ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran. Hal itu disebabkan ia belum juga bisa membaca,
sedangkan pelajaran di kelas I sekolah dasar (SD) sekarang ini sudah berupa teks yang cukup banyak dan otomatis membutuhkan kemampuan membaca dan menulis untuk mengikuti dan memahaminya.

Tumpang tindih

Persoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali keterampilan calistung.

Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak
lulus”, “tidak naik kelas”, kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.

Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain
edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.

Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.

Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.

Paradigma belajar

Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.

Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum.

Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana
anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.

Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.

Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada “larangan belajar calistung”, namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran
bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.

Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan
bahkan memang berbentuk sebuah permainan.

Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.

Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.

Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.

Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.

Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.

Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang
mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.

Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari, sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus merasa terbebani.

Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau kertas tebal. Setiap huruf dicetak
dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak.

Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.

Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.

Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah
kata.

Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan, betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca dengan pendekatan tersebut.

Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.***

Penulis, ibu dua anak, pemerhati pendidikan.

Sumber : Milis Horizontal

Sabtu, 06 Agustus 2011

Belajar Calistung pada Anak Usia Dini

Oleh A Halim Fathani Yahya

Akhir-akhir ini banyak elemen masyarakat yang mulai peduli terhadap masa depan anak, sehingga banyak bermunculan kelompok bermain untuk pendidikan anak usia dini. Tetapi, yang masih menjadi persoalan adalah mengenai kurikulum yang diterapkan. Kebanyakan pengelola “masih” ingin mengajari anak dalam tiga hal, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Persoalan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) memang merupakan fenomena tersendiri yang serba dilematis. Tidak jarang, orangtua yang memiliki anak usia dini yang disekolahkan (Play Group, Kelompok bermain) merasa khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah lanjutannya nanti (TK, SD), jika dari awal belum dibekali keterampilan calistung. Akhirnya, banyak orangtua yang “memaksa” anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas” –sebagai dampak dari pelaksanaan UN-, kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.

Pendidikan yang Dilematis
Pada dasarnya pembelajaran calistung pada usia dini dinilai kurang tepat, karena seolah-olah memaksa anak yang masih dalam tahap pertumbuhan (anak masih senang bermain). Tetapi, praktik pendidikan di tingkat TK/SD –sebagai kelanjutan dari PAUD- berbicara lain. Selama ini pendidikan TK didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang SD. Kegiatan yang dilakukan di TK pun hanyalah bermain dengan menggunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat TK, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B. Tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu SD sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.

Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.

Paradigma Belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apapun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidak dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan. Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.

Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal. Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.

Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.

Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.

Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.

Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya. [ahf]