Sabtu, 06 Agustus 2011

Belajar Calistung pada Anak Usia Dini

Oleh A Halim Fathani Yahya

Akhir-akhir ini banyak elemen masyarakat yang mulai peduli terhadap masa depan anak, sehingga banyak bermunculan kelompok bermain untuk pendidikan anak usia dini. Tetapi, yang masih menjadi persoalan adalah mengenai kurikulum yang diterapkan. Kebanyakan pengelola “masih” ingin mengajari anak dalam tiga hal, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Persoalan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) memang merupakan fenomena tersendiri yang serba dilematis. Tidak jarang, orangtua yang memiliki anak usia dini yang disekolahkan (Play Group, Kelompok bermain) merasa khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah lanjutannya nanti (TK, SD), jika dari awal belum dibekali keterampilan calistung. Akhirnya, banyak orangtua yang “memaksa” anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas” –sebagai dampak dari pelaksanaan UN-, kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.

Pendidikan yang Dilematis
Pada dasarnya pembelajaran calistung pada usia dini dinilai kurang tepat, karena seolah-olah memaksa anak yang masih dalam tahap pertumbuhan (anak masih senang bermain). Tetapi, praktik pendidikan di tingkat TK/SD –sebagai kelanjutan dari PAUD- berbicara lain. Selama ini pendidikan TK didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang SD. Kegiatan yang dilakukan di TK pun hanyalah bermain dengan menggunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat TK, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B. Tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu SD sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.

Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.

Paradigma Belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apapun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidak dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan. Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.

Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal. Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.

Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.

Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.

Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.

Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya. [ahf]

0 komentar:

Posting Komentar